Rabu, 23 April 2008

Sumber Ilmu, Mukasyafah Versus Mukasampah

"Wahai orang-orang yang beriman, taatillah Allah, taatilah Rasul dan Ulil amri diantara kalian" (Qs an-Nisa : 59.)

Interpretasi Ayat
Ayat ini memerintahkan kita untuk taat kepada Allah yang artinya kita diperintah untuk mengamalkan Al-Qur'an sebagai petunjuk jalan. Ayat inipun menegaskan untuk taat kepada Rasulullah SAW yang artinya kita diperintah untuk mengamalkan Sunnah Beliau. Dan yang ketiga kitapun dipinta untuk mentaati Ulil amri yaitu kaum muslimin yang berperan mengurusi segala urusan kita baik urusan dunia (pemerintah) maupun urusan moral (Ulama).

Untuk kategori taat yang ketiga ini (kepada Ulil amri) kita dipinta selektif jangan asal taat yaitu selama ketaatan itu tidak melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. "Dalam sebuah hadits dinyatakan "tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam kebaikan" (Hr. Abu Daud dari Saidina Ali ra.). Hal ini bisa difahami mengingat dalam ayat tersebut kalimat "taatilah" tidak disebutkan lagi, tidak sebagaimana ketika kita dipinta mentaati Allah dan Rasul-Nya kalimat "taatilah disebutkan dalam ayat tersebut (ketaatan yang absolut dan mutlak)

Interpretasi Ulil amri, bukan hanya bermakna kepada pemerintah yang mengurusi kesejateraan rakyat tapi berkonotasi juga kepada Ulama yang mengurusi persoalan moralitas termasuk di dalamnya menasehati pemerintah agar sesuai dengan syari'ah Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Jalur Riwayat dan Mukasyafah
Ulama pun terbagi dua ; 1. Ulama lahir 2. Ulama batin. Ulama lahir seperti Ahli Hadits dan Ahli Fiqh adalah mereka yang selalu berpegang kepada sumber yang kelihatan, baik nash-nash syar'i (ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits) atau kepada kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai metodologi mengungkap sisi hukum yang tersirat dalam kedua sumber itu dan lazim dikenal dengan bi thariqir riwayah.

Lain halnya dengan Ulama batin seperti Ulama Thariqah, Para Sufi dalam dunia tasauf, dan Ahli Wirid kerapkali dalam menyusun bacaan-bacaan wiridannya melalui isyarat batiniah, firasat, mimpi, ilham dll. atau lazim dikenal dengan bi thariqil mukasyafah. (Catatan kuliah Penulis bersama DR. H. Satria Efendi (Alm), di Pasca Sarjana IIQ jakarta, th. 2000)

Saat Kita membaca sebuah manaqib (perjalanan hidup) seorang sufi, disitu diceritakan dengan sangat gamblang bahwa berbagai wiridan yang dibacanya ternyata ada yang diperoleh lewat mimpi bertemu Rasulullah atau bertemu langsung secara badaniah.

Cerita apapun yang kita baca tentu akan mengandung dua hal ; bisa benar atau bisa juga dusta. Dan kita boleh saja mengatakan bahwa dia berdusta saat mengetahui sang pembawa berita itu tidak layak dipercaya. Namun sebaliknya kitapun harus berbesar hati menerima sebuah berita sesaat kita mengetahui atau diberi tahu bahwa pembawa berita atau yang bercerita itu patut dipercaya melalui autobiografi-nya yang penuh dengan nilai-nilai keshalehan.

Ulama lahir berpedoman pada pada riwayat yang nyata, makanya sebagian mereka hanya akan mengumpulkan doa-doa yang termaktub dalam Al-Qur'an dan kitab-kitab hadits.

Berbeda dengan Ulama batin (Ahli Thariqah dan Para Sufi) bukan hanya dari nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits yang ada saja tapi pengalaman mukasyafahnya pun menjadi sumber wiridannya. Seperti yang pernah dialami Syeikh Abi Hasan asy-Syadzili pendiri Thariqah asy-Syadziliyah, dalam satu hizibnya yang cukup terkenal di dunia, yaitu hizib bahar, beliau sendiri yang bercerita bahwa ketika ia ingin menunaikan ibadah haji ia berlayar bersama seorang nasrani menyebrangi laut Qulzum, tiba-tiba datanglah angin menghentikan pelayarannya hingga beberapa hari, kemudian beliau melihat Nabi SAW secara langsung dan mengajarkan doa, setelah itu Syeikhpun membacanya dan memerintahkan nasrani tadi untuk kembali berlayar, lantas saja si nasrani berkata, "kemana angin itu ?" Syeikh pun menjawab, "kerjakan saja, karena angin sekarang mendatangi mu" maka terjadilah sebagaimana yang Syeik katakan tadi, setelah itu sang nasrani pun akhirnya masuk Islam. (dalam bacaan hizib terdapat redaksi "Ya Allah, tundukkanlah angin ini sebagaimana kau tundukan angin, syeitan dan bangsa jin bagi Nabi Sulaiman as. dst). (Baca kitab al-Mafakhir al-'aliyah fi al-Maatsir asy-Syadziliyah, hal. 195. Dan Penulis mendapat ijazah Hizib Bahar dari KH. Abd. Hamid bin Abd. Halim ad-Dary Prapanca Jaksel, dan dari putranya KH. Muhammad Dzakwan, keduanya dari Musnid Dunia, Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadany dan sanadnya terus bersambung hingga ke Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili)

Begitu juga yang pernah dialami Sulthan Mahmud al-Garnawi yang bermimpi bertemu Rasulullah dimana Beliau mengajarkan bacaan shalawat kepadanya yang kalau dibaca shalawat tersebut 3 kali saja pahalanya sama dengan 300.000 kali shalawat yang ia baca sehabis shalat subuh, maklum Sulthan Mahmud ini adalah seorang kepala pemerintahan yang nyaris melalaikan tugasnya karena banyaknya jumlah shalawat yang ia baca. Dan masih banyak lagi ulama lain yang pernah mengalami pengalaman spritual macam ini. (Baca kitab al-Qirthas Syarah Ratib al-Atthas, Juz II hal. 211. Dan shalawatnya terkenal dengan sebutan Shalawat Sulthan Mahmud)

Demikian halnya dengan Thariqah, dasarnya cukup jelas terdapat dalam hadits, sebagaimana riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dan hadits riwayat Imam Thabrani "Sesungguhnya Rasulullah SAW mentalqin para sahabatnya secara jama'ah atau perorangan".

Mengenai talqin Beliau secara kolektif (jama'ah) yaitu apa yang dikatakan Syaddad bin Aus, "Suatu ketika kami berada di sisi Nabi SAW, Beliau pun berkata, Adakah orang asing diantara kalian ?, (yang dimaksud adalah ahlul kitab), kami pun menjawab, tidak ada Ya Rasulullah, maka Nabi SAW pun perintahkan sahabat menutup pintu lalu Beliau berkata, angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah La ilaha illallah, kami pun mengangkat tangan dan mengucap La ilaha illallah, lalu Beliau pun berkata, Alhamdulillah, Ya Allah sesungguhnya Engkau utus diriku dengan kalimat ini dan Engkau perintahkan aku dengannya, Engkau janjikan surga di atasnya dan sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji, kemudian Beliau pun berkata gembiralah kalian karena Allah telah mengampuni kalian".

Adapun talqin Beliau secara individu kepada para sahabatnya adalah yang diriwayatkan oleh Syeikh Yusuf al-Kuroni al-'Ajami dengan sanad yang shahih, "Saidina Ali ra pernah memohon kepada Nabi SAW, Ya Rasulullah tunjukkanlah kepada ku jalan yang terdekat menuju Allah Ta'ala, jalan yang termudah atas para hambaNya dan jalan yang paling utama di sisi Allah Ta'ala, kemudian Nabi SAW pun menjawab, bacaan yang paling utama yang aku baca dan Para Nabi sebelumku adalah La ilaha illallah, seandaina tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi berada di piring sebuah neraca dan kalimat La ilaha illallah berada di piring satunya pasti kalimat La ilaha illallah akan mengalahkannya, kemudian Beliau pun berkata Wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi bilamana diatas permukaan bumi masih ada yang mengucap kalimat La illaha illallah, Saidina Ali pun berkata, bagaimanakah cara aku menyebutkannya Ya Rasulullah ? Beliau pun berkata (mengajarkan kaifiat talqin) pejamkan kedua matamu dan dengarkanlah dariku tiga kali lalu ucapkanlah oleh mu tiga kali sambil aku dengarkan. Beliau kemudian mengucapkan La ilaha illallah sambil memejamkan matanya dan mengangkat suaranya sedangkan Saidina Ali mendengarkannya, setelah itu Saidina Ali pun membacanya tiga kali sambil memejamkan matanya dan mengangkat suaranya sedangkan Nabi SAW mendengarkannya. (dari sinilah sumber sanad para ahli thariqah) ( Al-Mafahiru al-"aliyah fi Maatsir asy-Syadziliyah, hal 172-173)

Memasuki wilayah thariqah juga tidak sembarangan yaitu harus ada Mursyid yang sanadnya bersambung hingga Rasulullah SAW. (Penulis mendapat Talqin Thariqah asy-Syadziliyah dari Mursyid Thariqah, Abuya KH.Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin al-Bantani (secara individu) dan dari Mursyid Thariqah Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan. (secara kolektif))

Kritik atas Buku H. Mahrus Ali “Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali”

Ada makhluq aneh yang mengaku mantan kyai NU atau mungkin sebenarnya aktivis wahabi yang nyusup ke NU. dialah H. Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul "Mantan kyai NU menggugat tahlilan, istighatsahan dan ziarah para wali" isi bukunya ini cukup lumayan kekanakan, serampangan dan emosional. Nyaris semua wiridan yang dibaca kaum muslimin saat ini yang disusun ulama thariqah dan para waliyullah dianggap menyesatkan dengan sebuah argumentasi yang tidak argumentatif bahwa wiridan-wiridan itu katanya tidak ada di zaman nabi dan para sahabat alias tidak ada di Al-Qur'an dan kitab-kitab Al-Hadits plus mengandung kemusyrikan.

Yang lebih gila lagi dia mengaku pernah berguru kepada Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani seorang ulama besar ahli hadits di Mekkah yang terkenal dengan Musnid Dunia (ahli sanad bagi ulama di dunia ini), anehnya tidak satupun dalam bukunya ia nukil pendapat gurunya ini bahkan fokus kepada tulisan-tulisan al-Albany yang oleh Syeikh Yasin sendiri dianggap al-Majnun bahkan dianggap seorang Mudallis (Penipu) oleh Syeikh Hasan Ali as-Saqaf dalam bukunya "Tanaqudhat al-Albany al-Wadhihat" (Kontradiktif-kontradiktif nyata al-Albany) karena serampangannya mentakhrij (mengkritisi) hadits, juga demen berat dengan fatwa-fatwa Bin Baz tokoh wahabi di Arab Saudi. Padahal Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani adalah pewirid ulung yang juga sering meng-ijazahkan wiridannya itu kepada para murid dan kaum muslimin yang memintanya, antara lain hizib bahar dan hizib nashar. Kenapa tidak sekalian saja H. Mahrus Ali ini yang mengaku sebagai muridnya mengatakan sesat kepada gurunya itu, bukankah hizib-hizibnya tidak ada dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits ? (why, takut ya kepada Syeikh ?!) (Baca dalam, "Muhammad Nashiruddin Al-Albany Begawan Hadits Kontroversial (Kerancuan Kritikus Hadits)

Apalagi kaum wahhabiyyin kerapkali terjebak pada makna lahir dari sebuah wiridan, yang dilatarbelakangi oleh ketidakmauan mereka untuk mengerti gaya bahasa (Balaghah) seperti kalimat hakikat, majaz, Isti'arah, tasbih, kinayah dst. Hingga mereka bisa dengan mudahnya menyatakan kaum muslimin yang gemar ber-wirid, ber-maulid, ber-shalawat, ber-istighatsah, ber-tahlil dan ber-thariqah dengan bid'ah sesat dengan jalan men-justifikasi ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits dan sepotong-sepotong menukil pendapat salafus shaleh. Sikap tersebut jelas tidak profesional dan proporsional. ( Dus menuduh wiridan-wiridan dan shalawatan itu hanya terdapat di kitab-kitab perdukunan, ji mahrus ji mahrus, ulah kitu atuh mang ! please read in the books of sufism, or you don't understand sufistic term and Islamic mysticism?!)

Alhasil, karena tidak memahami watak wiridan yang terkadang diperoleh melalui cara mukasyafah yang diberikan kepada para hamba Allah SWT yang dikehendaki (orang-orang shaleh) plus kurang memahami gaya bahasa para sufi, maka timbullah doktrin-doktrin ngawur, serampangan mulai bid'ah sesat hingga memusyrikan dan mengkafirkan orang lain. Mudah-mudahan H. Mahrus Ali dan para konco-konconya segera mendapat pengetahuan tentang ini.

Antara Mukasyafah dan Mukasampah
H.Mahrus Ali dan konco-konconya setidaknya membatasi diri dan menyadari bahwa dirinya belum layak masuk mengkaji dunia wirid, thariqah dan tasauf yang demikian luas medan kajiannya, lebih belantara dari hutan kalimantan dan lebih dalam dari Samudra Pasific. Li kulli maqal maqam wa li kulli maqam maqal.

Atau bersibaklah dulu wahai wahhabiyyin di pinggir pantai kalau tidak sanggup berenang ke tengah laut !! Al-Aulia bi Thariqil Mukasyafah wa antum kullukum Ayyuhal Wahhabiyyun bi Thariqil Mukasampah (muka blepotan)

Wallahu A'lam Bis Shawab